

SUARA MERDEKA INDONESIA, Jakarta – Aktivis muda, Andi Leo, angkat bicara menyusul insiden terbaru serangan gajah liar yang melukai dua warga di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Selasa (27/5/2025). Ia menyebut kejadian ini bukan semata persoalan satwa liar, melainkan kegagalan negara dalam melindungi rakyatnya dari ancaman yang telah berulang selama bertahun-tahun.
“Ini bukan kejadian insidental. Ini bukti nyata dari pembiaran sistematis yang dilakukan negara terhadap konflik antara manusia dan gajah liar. Warga tidak seharusnya hidup dalam ketakutan di tanah mereka sendiri,” tegas Andi Leo.
Andi menyayangkan sikap pemerintah yang cenderung reaktif dan lambat menangani konflik satwa liar. Ia menilai selama ini tidak ada kebijakan konkret dan terukur yang benar-benar melindungi warga desa yang berada di kawasan konflik.
“Datangnya pejabat ke lokasi dan pemasangan petasan bukan solusi. Ini seperti membiarkan warga berjudi dengan nyawa mereka sendiri. Pemerintah dari pusat sampai daerah harus bertanggung jawab penuh,” kata Andi.
Andi Leo menegaskan bahwa berbagai pihak memiliki tanggung jawab langsung atas persoalan ini, di antaranya:
• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA Sumsel) sebagai otoritas pengelola konservasi satwa.
• Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, dalam kapasitasnya mengelola ruang dan lingkungan hidup.
• Pemerintah Kabupaten OKI, yang berkewajiban menjaga keselamatan warganya.
• Perusahaan-perusahaan pemegang konsesi lahan (HTI, perkebunan sawit, dan lainnya) yang membuka jalur jelajah gajah tanpa mitigasi ekosistem yang memadai.
Menurut Andi, pemerintah selama ini mengabaikan sejumlah peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjamin keseimbangan antara konservasi satwa dan keselamatan masyarakat, seperti:
• UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
➤ Pasal 33 mengamanatkan perlindungan habitat satwa liar oleh negara.
➤ Pasal 21 melarang melukai atau mengganggu satwa dilindungi (termasuk gajah Sumatera).
• UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
➤ Pasal 69 dan 70 menyatakan bahwa masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang aman dan sehat serta perlindungan dari dampak lingkungan.
• Permen LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018
➤ Gajah Sumatera ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi penuh, dan konflik dengan manusia menjadi tanggung jawab pemerintah untuk ditangani.
“Negara telah abai terhadap kewajiban hukumnya sendiri. Ketika warga yang taat hukum dibiarkan berkonflik dengan satwa karena kelalaian negara, maka kita sedang menuju pada runtuhnya fungsi negara itu sendiri,” ujar Andi.
Dalam keterangannya, Andi Leo turut mendorong percepatan solusi yang bersifat menyeluruh dan berkelanjutan:
Jangka Pendek:
• Evakuasi sementara gajah yang masuk ke kawasan pemukiman.
• Peningkatan patroli dan penjagaan oleh BKSDA bersama aparat desa dan TNI/Polri.
• Pemasangan pagar kejut darurat di titik-titik rawan.
• Pelatihan mitigasi konflik satwa kepada warga setempat.
Jangka Panjang:
• Penyelesaian pembangunan tanggul sepanjang 38 km dan pagar kejut 10 km seperti yang telah direncanakan.
• Penataan ulang izin konsesi perusahaan yang masuk jalur jelajah gajah.
• Rehabilitasi habitat gajah di kawasan konservasi yang rusak.
• Penanaman tanaman pengusir gajah (serai wangi, petai, sukun timun) sebagai pagar vegetatif alami.
• Pengembangan sistem peringatan dini berbasis teknologi (seperti GPS tracking dan drone monitoring).
Andi Leo menutup pernyataannya dengan seruan keras kepada seluruh pemangku kepentingan, agar konflik ini tidak terus menambah daftar panjang korban.
“Jika pemerintah terus diam, maka setiap luka, setiap nyawa yang hilang, adalah bukti bahwa negara gagal menjalankan amanat konstitusinya: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Ini bukan soal satwa saja. Ini soal kemanusiaan,” pungkasnya.