

SUARA MERDEKA, Jakarta – Tekanan publik terhadap penegakan hukum dalam kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) terus meningkat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak menunjukkan ketegasan dalam menangani kasus ini, terlebih setelah dua kali mangkirnya anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Fauzi Amro, yang diduga terlibat dalam aliran dana korupsi.
Fauzi, yang menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, memiliki posisi strategis dalam pengawasan lembaga keuangan negara, termasuk Bank Indonesia. Namun, bukannya memberi contoh transparansi, ia justru belum menunjukkan sikap kooperatif terhadap penyidikan.
“Yang kami temukan adalah uang tersebut ditransfer ke rekening pribadi, saudara, atau orang yang mewakili dia,” ujar Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Gerakan Pemuda Mahasiswa Sumsel (GAASS), Andi Leo, mengecam keras lambannya penanganan KPK. Ia menyatakan bahwa jika dalam waktu dekat tidak ada langkah konkret dari KPK, maka Kejaksaan Agung (Kejagung) harus segera mengambil alih proses hukum.
“Kasus ini tidak bisa dibiarkan mengambang. Bila KPK tidak berani menindak elite politik, maka Kejagung harus turun tangan. Rakyat berhak melihat hukum ditegakkan tanpa pandang bulu,” ujar Andi Leo, Minggu (25/5/2025).
Sebagai bentuk perlawanan moral, GAASS akan menggelar aksi unjuk rasa di depan Kejaksaan Agung RI dalam waktu dekat.
“Kami akan melakukan aksi demonstrasi di depan Kejagung. Ini bukan sekadar protes, tapi bentuk peringatan dari gerakan mahasiswa. Jangan biarkan hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik,” tegasnya.
Menurut Ketua Andi, dana CSR yang seharusnya menjadi alat pemulihan sosial justru dijadikan bancakan kekuasaan.
“Ketika rakyat membutuhkan bantuan, mereka malah sibuk memperkaya diri. Ini penghinaan terhadap konstitusi dan kemanusiaan,” pungkasnya.
Dengan kondisi ini, GAASS menyerukan solidaritas mahasiswa dan masyarakat sipil untuk mengawal kasus ini hingga tuntas. Skandal CSR BI dinilai sebagai salah satu simbol kegagalan etika politik di parlemen, dan publik tidak boleh diam.