

SUARA MERDEKA INDONESIA, Jakarta – Nama Cik Ujang, Wakil Gubernur Sumatera Selatan sekaligus mantan Bupati Lahat, kembali menjadi sorotan. Sejumlah laporan dan dugaan pelanggaran hukum yang melibatkan dirinya kembali mencuat ke publik. Namun hingga kini, belum terlihat proses hukum yang jelas dari aparat penegak hukum.
Aktivis muda Andi Leo, menyebut situasi ini sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
“Kalau hukum tak sanggup menjerat kekuasaan, maka rakyat akan hilang kepercayaan. Ini bukan sekadar soal satu orang, tapi sistem yang lumpuh,” tegas Andi dalam keterangannya, Selasa (27/05/2025).
Salah satu kasus yang mengemuka adalah dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Cik Ujang. Kasus ini sempat dilaporkan ke Bareskrim Polri pada 2020 oleh Forum Solidaritas Peduli Pendidikan (FSPP). Namun laporan tersebut dihentikan melalui SP3 yang kala itu ditandatangani oleh mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo yang kini menjalani hukuman seumur hidup.
Langkah penghentian kasus tersebut memunculkan spekulasi adanya “perlindungan sistemik” terhadap tokoh politik tertentu.
“Ini aneh. Laporan jelas, data kuat, tapi dihentikan begitu saja,” sindir Andi.
Jika terbukti, penggunaan ijazah palsu melanggar Pasal 263 KUHP dan Pasal 69 UU Sisdiknas, dengan ancaman hingga 6 tahun penjara.
Laporan lainnya datang dari Gerakan Ganyang Koruptor (GAGAK) yang menyoroti dugaan korupsi dana COVID-19 saat Cik Ujang menjabat Ketua Satgas COVID-19 Kabupaten Lahat. Pengelolaan dana miliaran rupiah diduga tak transparan.
Selain itu, Perkumpulan Anti Korupsi Indonesia (PAKI) juga melaporkan dugaan perjalanan dinas fiktif senilai Rp135 miliar pada tahun 2020. Ironisnya, anggaran tersebut diklaim digunakan saat aktivitas pemerintahan seharusnya dibatasi akibat pandemi.
“Ini menyakitkan bagi rakyat. Di tengah krisis, anggaran malah diduga dijadikan bancakan,” kata Andi Leo.
Jika terbukti, tindakan ini melanggar UU Tipikor, khususnya Pasal 2 dan 3, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Sebagai kepala daerah di salah satu wilayah penghasil batubara terbesar di Sumsel, Cik Ujang juga disorot dalam isu lingkungan dan pengawasan terhadap perusahaan tambang. Aktivitas tambang di Lahat disebut menyumbang kerusakan jalan, polusi, dan konflik agraria.
Laporan lain bahkan menyebutkan adanya dugaan manipulasi penerimaan pajak tambang, yang membuat daerah kaya sumber daya justru masuk kategori termiskin di provinsi.
Tindakan ini, jika terbukti, melanggar Pasal 39 UU Ketentuan Umum Perpajakan dan berpotensi dijerat Pasal 3 UU Tipikor jika ada unsur memperkaya diri atau orang lain.
Sejumlah pihak mempertanyakan mengapa laporan-laporan tersebut seperti “menghilang di meja aparat”. Tak ada klarifikasi dari KPK, Kejaksaan, atau Bareskrim hingga hari ini. Di sisi lain, kedekatan Cik Ujang dengan jaringan politik dan elite lokal dinilai menjadi tameng perlindungan.
“Kalau aparat diam, lalu siapa yang berpihak pada rakyat? Kita bisa lihat bahwa hukum kita masih bisa ‘ditidurkan’ ketika pelakunya orang kuat,” ujar Andi Leo lagi.
Situasi ini mendorong desakan agar audit menyeluruh terhadap proyek APBD Kabupaten Lahat tahun 2018–2023 segera dilakukan. Publik, menurut Andi Leo, tak lagi menuntut janji, melainkan tindakan nyata dari aparat penegak hukum.
“Pertanyaannya sekarang: siapa yang melindungi Cik Ujang? Dan sampai kapan hukum diam?” pungkas Andi Leo.